Sejak kecil saya seorang penyuka
gunung. Rasa suka yang kemudian berubah menjadi hobby. Ya, saya jadi kecanduan
mendaki gunung dan telah menjalani hobby ini selama 21 tahun terakhir. Dulu
setiap mendapatkan cuti tahunan, tidak ada tempat yang saya tuju untuk berlibur
selain gunung dan gunung.Namun seiring bertambahnya usia dan tanggung jawab
terhadap keluarga, kegiatan mendaki gunung ini perlahan mulai berkurang.
Namun, masih ada beberapa gunung yang jadi PR besar untuk didaki (tentunya selain Gunung Everest di Nepal). Salah satunya adalah Gunung Pinatubo di Filipina. Negara yang
berbatasan dengan Indonesia ini memiliki beberapa gunung berapi aktif yang
kondisi alamnya hampir sama persis dengan gunung-gunung berapi di Indonesia.
![]() |
Gunung Pinatubo. Sumber foto: https://dealgrocer.com |
Filipina sudah lama menjadi wish
list sebagai negara yang ingin saya kunjungi karena alasan di atas. Meskipun
memiliki bentang alam dan pemandangan yang hampir mirip dengan Indonesia, namun tetap
saja hiking dan traveling ke sana akan memiliki cerita unik tersendiri. Terlebih setelah
menonton sinetron Filipina yang booming tempo hari di MNC Tv yang berjudul Pangako Sayo.
Tambah penasaran ingin segera ke sana.
Saya mengetahui pertama kali tentang
Gunung Pinatubo dari liputan film dokumenter National Geographic. Dan dibuat takjub dengan
ledakan yang maha dahsyat yang disebabkan oleh letusan gunung ini. Satu dari dua letusan
gunung terbesar yang terjadi pada abad modern.
Menurut catatan U.S Geological Survey, pada
tanggal 16 Juli 1990 terjadi gempa berkekuatan 7,8 skala Richter yang melanda
wilayah sekitar 100 kilometer Timur Laut Gunung Pinatubo di Pulau Luzon,
Filipina. Yang mengguncang dan meremas kerak bumi yang ada di bawah Gunung Pinatubo.
Gempa bumi besar ini menyebabkan tanah longsor, beberapa gempa lokal, dan
peningkatan emisi uap dari daerah panas bumi yang sudah ada sebelumnya.
Pada bulan
Maret dan April 1991, batuan cair (magma) yang naik ke permukaan lebih dari 20
mil (32 kilometer) di bawah Pinatubo memicu gempa bumi kecil dan menyebabkan ledakan
uap yang kuat yang menghancurkan tiga kawah di sisi utara gunung berapi. Ribuan
gempa bumi kecil terjadi di bawah Gunung
Pinatubo hingga
April, Mei, dan awal Juni. Beribu-ribu ton gas sulfur dioksida
berbahaya juga dipancarkan oleh gunung berapi.
Dari tanggal 7
hingga 12 Juni, magma pertama mencapai permukaan Gunung Pinatubo. Karena telah
kehilangan sebagian besar gas yang terkandung di dalamnya, dalam perjalanan ke
permukaan magma mengalir keluar untuk
membentuk kubah lava tetapi tidak menyebabkan letusan eksplosif.
Pada tanggal 12 Juni tepat di Hari Kemerdekaan
Filipina, jutaan meter kubik magma bermuatan gas mencapai permukaan dan
meledak dalam letusan spektakuler pertama Gunung Pinatubo.
Ketika magma bermuatan gas naik lebih tinggi hingga mencapai permukaan Pinatubo pada 15 Juni, gunung berapi itu meledak dalam letusan dahsyat yang mengeluarkan lebih dari 1 mil kubik (5 kilometer kubik) material. Awan abu dari puncak letusan tersebut naik membumbung tinggi hingga 35 kilometer ke udara.
Abu pun
bertiup ke
segala arah dibawa oleh angin siklon yang kuat dari topan yang terjadi secara
kebetulan. Dan angin di ketinggian yang lebih
tinggi lagi meniupkan abu ke barat daya. Selimut abu vulkanik yang berisi pasir dan
butiran-butiran mineral vulkanik dan kaca juga batu apung lapili (kerikil
berbusa) menyelimuti pedesaan. Abu halus jatuh sejauh Samudra Hindia, dan
satelit melacak awan abu beberapa kali di seluruh dunia.
Longsoran besar abu panas, gas, dan pecahan batu apung (aliran piroklastik) meraung di sisi Gunung Pinatubo, mengisi lembah yang dalam sekali dengan endapan vulkanik segar setebal 200 meter. Menghapus begitu banyak magma dan batu dari bawah gunung berapi sehingga puncak runtuh untuk membentuk depresi vulkanik besar atau kaldera seluas 2,5 kilometer.
Kerugian ekonomi dari letusan ini terhitung mencapai
8 miliar peso atau hampir Rp 2 triliun rupiah. Selain itu, 2,1 juta penduduk
Filipina kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Hutan seluas 150 km
persegi pun rusak parah dan sekitar 800
km persegi lahan pertanian gagal panen.
Menyimak cerita dibalik meletusnya Gunung Pinatubo ini saya takjub campur ngeri. Sungguh bencana-bencana seperti ini begitu dahsyat. Bagaimana pula kelak akhir
zaman dimana gunung-gunung beterbangan bagai kapas yang ditiup
angin. Bagaimana langit terbelah dan tergulung bagai selembar kertas.
Berkunjung ke gunung kerap membuat hati saya selalu mengingat
akan kebesaran-Nya. Oleh sebab itu kegiatan seperti ini sering saya rindukan karena sedikit banyaknya jadi berusaha untuk
mentadabburi alam.
1 comment:
ayo mbak kesini...keren banget ini, jadi mirip kaya rinjani ya, saya nantikan ceritanya
Post a comment